Follow Me

free counters

08 September 2010

Mimpi Panjang di Tengah Kota

     Cuaca di luar menunjukkan hari sudah sore, pukul 16.30. Aku segera mandi dan bersiap-siap berangkat. Semua aku lakukan secepat kilat. Ngeri telat, nggak keburu naik angkot dan terpaksa naik ojek sampai depan Raden Saleh, yang berarti biaya untuk ongkos akan bertambah. Memikirkan semua itu, aku jadi semakin cepat berjalan ke pinggir jalan raya untuk menanti angkot idaman. 1 menit, 5 menit, 15 menit, 30 menit.. Akhirnya muncul juga angkot yang ditunggu.
     Perjalanan menuju Raden Saleh memang lancar sehari-harinya, tak terkecuali sore ini. Jarang sekali terjadi kemacetan kecuali pada masa pengambilan rapot sekolah.
     “Maap ya sampe sini aja. Ngga nyampe terminal. Waktunya udah abis.”
     Kebiasaan. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati mendengar perkataan sopir angkot barusan. Terpaksa deh nyambung angkot lain untuk sampai ke terminal. Beginilah kalau angkot punya ‘jam main’ terbatas. Didukung lagi dengan ulah para sopir angkot yang nggak bertanggung jawab dan nggak mau rugi.
     Sesampainya di terminal, aku langsung naik angkot berikutnya jurusan Kampung Rambutan yang sedang ngetem di salah satu sudut terminal. Setelah sopir angkotnya cukup puas ngetem, menunggu penumpang lain yang nggak datang-datang, angkot pun mulai jalan meninggalkan terminal. Weitss, ternyata nggak semudah itu meninggalkan terminal ini, kami harus melewati kemacetan super ribet di pintu keluar. Banyak angkot yang dengan sadar melambatkan jalannya, bahkan malah asik-asik ngetem tanpa terusik petugas yang mungkin sedang istirahat.
     Perlahan-lahan dan dengan penuh kesabaran yang dipaksakan, kami berhasil keluar dari keruwetan terminal yang berantakan itu. Menyusuri Margonda Raya yang beberapa bulan terakhir ini telah mengalami pelebaran jalan dengan mengorbankan pohon-pohon besar yang dulu ada di pinggir jalan. Bahkan halte tempat yang cukup nyaman bagi para calon penumpang menunggu pun lenyap. Untung saja sekarang sudah sore, kalau masih siang pasti akan terasa sekali gersangnya jalan ini. Satu-satunya spot yang menjadi favoritku terlihat saat kami mulai melewati ujung Margonda Raya, yaitu putaran UI. Di sini masih banyak pohon-pohon besar dan tertata cukup rapi yang mampu memberikan efek sejuk bagi yang melintasinya.
     “Kampus. Kampus.”
     Teriakan sopir membuatku terjaga. Aku segera bangkit dan turun dari angkot. Setelah membayar dan mendapatkan kembalian, aku pun mulai memasuki area kampus. Dalam hati, aku merasa sangat beruntung. Kota-ku tidak seperti itu. Angkutan umum selalu tersedia untuk melayani para penumpang sampai ke tempat tujuan. Terminalnya pun sangat rapi dan nyaman, tersedia tempat yang aman bagi para penumpang menunggu. Apalagi Margonda Raya yang menjadi kebanggaan kami karena merupakan pintu utama untuk memasuki kota, dengan pohon-pohon di pinggirnya yang menaungi para pengguna jalan, baik kendaraan maupun pejalan kaki. Juga dilengkapi dengan halte-halte yang bersih dan terawat.
     Ahh aku jadi ingin segera pulang, menyusuri lagi jalan-jalan yang aku lalui, dan membuktikan bahwa yang aku alami tadi hanyalah sebuah mimpi..

2 comments:

Extraordiharry said...

Waduh,,saya juga pernah dioper tuh ketika naik angkot..Gak saya bayar..Ngapain juga dibayar.
* Sambil ngasah golok mode: ON *

Kita kan sewa tuh mobil untuk sampai tujuan. Akan tetapi dioper begitu saja. ya berarti rejekinya ada diangkot yang mengantarkan kita sampai tujuan :D
* Masupin golok lagi :D *
*

eny said...

@extraordiharry setuju banget. pura-pura lugu, trus langsung naik angkot lain. hehee.. tapi kalo diopernya mulu tiap hari kan bikin gondok tujuh turunan o_O'

Post a Comment

blog search directory podcast directory
 
 

Designed by: Compartidísimo
Scrapping elements: Deliciouscraps©